Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau sangat bergantung pada teknologi Satelit Asing, terutama dalam hal komunikasi, penyiaran, navigasi, pemantauan cuaca, dan mitigasi bencana.
Di tengah keterbatasan infrastruktur darat seperti kabel fiber optik atau BTS di wilayah terpencil, satelit menjadi sarana vital untuk menjangkau area 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Namun, karena kapasitas satelit domestik belum sepenuhnya mencukupi, Indonesia membuka peluang bagi operator satelit asing untuk memberikan layanan di wilayah yurisdiksinya.
Kehadiran operator asing, walau memberikan solusi atas kekosongan kapasitas dan teknologi, tetap membutuhkan pengaturan yang ketat. Regulasi diperlukan untuk menjamin kedaulatan spektrum, keamanan data nasional, kelangsungan industri dalam negeri, serta kesetaraan dalam kompetisi pasar Satelit Asing.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mengembangkan kerangka regulasi yang dinamis demi menjawab tantangan tersebut.
Daftar Isi
- 1 Spektrum Orbit dan Pengelolaannya: Barang Publik yang Harus Diatur
- 2 Permen Kominfo No. 13 Tahun 2019: Pilar Regulasi Satelit Asing
- 3 Perubahan Lanskap: Lahirnya Satelit HTS dan Konstelasi Orbit Rendah
- 4 Kepatuhan terhadap Aspek Keamanan dan Data
- 5 Tantangan Implementasi dan Ketimpangan Kompetisi
- 6 Prospek Satelit Indonesia dan Strategi Mandiri
- 7 Kerangka Hukum Masa Depan: Perlunya UU Satelit Nasional
- 8 Kesimpulan: Membangun Regulasi Satelit Asing yang Adil dan Progresif
Spektrum Orbit dan Pengelolaannya: Barang Publik yang Harus Diatur
Spektrum frekuensi dan orbit Satelit Asingmerupakan sumber daya alam tak kasat mata yang memiliki keterbatasan fisik. Pengaturannya di tingkat global berada di bawah koordinasi International Telecommunication Union (ITU), sementara di tingkat nasional dikelola oleh negara masing-masing. Indonesia memiliki hak atas slot orbit dan spektrum frekuensi tertentu, dan penggunaannya harus melalui perizinan.
Operator satelit asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus mengantongi hak landing (landing right), yaitu izin dari pemerintah untuk menggunakan frekuensi dan slot orbit asing di wilayah Indonesia. Tanpa izin ini, satelit asing tidak boleh menawarkan layanan atau menjual kapasitasnya kepada pelanggan lokal.
Kominfo melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) mengawasi alokasi frekuensi dan memastikan bahwa tidak terjadi interferensi antar operator. Setiap pengajuan landing right harus disertai dengan studi kompatibilitas spektrum, rencana penggunaan, dan kerja sama teknis dengan pihak Indonesia.
Permen Kominfo No. 13 Tahun 2019: Pilar Regulasi Satelit Asing
Peraturan Menteri Kominfo No. 13 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi dengan Satelit Asing merupakan salah satu tonggak penting dalam upaya mengatur keberadaan operator asing di Indonesia. Regulasi ini memperjelas bahwa operator asing hanya diperbolehkan masuk jika kapasitas satelit domestik tidak mencukupi atau jika memiliki kerja sama kemitraan dengan operator nasional.
Beberapa ketentuan penting dalam peraturan ini antara lain:
-
Pendaftaran Satelit Asing: Setiap operator asing harus mendaftarkan satelitnya dan memperoleh landing right sebelum menjual kapasitasnya di Indonesia.
-
Mekanisme Verifikasi Kebutuhan: Operator nasional yang hendak menggunakan satelit asing harus membuktikan bahwa tidak ada kapasitas satelit Indonesia yang tersedia atau sesuai kebutuhan teknis.
-
Kewajiban Kemitraan: Operator asing dianjurkan untuk bekerja sama dengan perusahaan nasional guna menjaga keseimbangan pasar dan alih teknologi.
-
Masa Berlaku dan Evaluasi: Izin penggunaan satelit asing bersifat sementara dan dapat ditinjau kembali jika kapasitas nasional sudah mampu menggantikan.
Dengan adanya regulasi ini, pemerintah berusaha mendorong penggunaan satelit Indonesia terlebih dahulu (principle of satellite preference) tanpa sepenuhnya menutup pintu bagi pelaku global.
Perubahan Lanskap: Lahirnya Satelit HTS dan Konstelasi Orbit Rendah
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap industri Satelit Asing mengalami transformasi besar-besaran. Kehadiran High Throughput Satellite (HTS) seperti milik SES, Inmarsat, atau Thaicom mampu menyediakan kapasitas jauh lebih besar dengan biaya lebih efisien.
Selain itu, proyek konstelasi satelit orbit rendah (LEO) seperti Starlink (SpaceX), OneWeb, dan Amazon Kuiper membuka era baru layanan broadband satelit berlatensi rendah.
Regulasi Indonesia harus cepat beradaptasi dengan inovasi ini. Tantangan utamanya adalah bagaimana mengatur satelit non-geostasioner (NGSO) seperti Starlink yang memiliki ribuan Satelit Asing dan dapat berpindah-pindah cakupan wilayah.
Pemerintah mewajibkan perusahaan seperti Starlink untuk memiliki entitas lokal, mematuhi persyaratan perizinan, serta menjamin bahwa layanan mereka tidak melanggar prinsip kedaulatan data dan keamanan nasional.
Kominfo juga mulai mempertimbangkan mekanisme baru seperti “landing right dynamic”, yaitu izin sementara yang bisa dievaluasi berdasarkan performa layanan dan dampak terhadap operator domestik. Ini penting untuk menjaga keseimbangan antara manfaat teknologi asing dan proteksi industri nasional.
Kepatuhan terhadap Aspek Keamanan dan Data
Salah satu isu krusial dalam regulasi operator asing adalah keamanan nasional dan privasi data. Operator asing yang menyediakan layanan broadband langsung ke konsumen Indonesia (direct-to-home) berpotensi mentransmisikan data ke luar negeri tanpa melewati titik kendali domestik. Ini membuka risiko penyadapan, pelanggaran hukum perlindungan data, dan kerentanan terhadap spionase digital.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mewajibkan operator asing yang beroperasi di Indonesia untuk:
-
Memiliki gerbang jaringan (gateway) di wilayah Indonesia, sehingga semua data yang lewat bisa dikendalikan secara nasional.
-
Mematuhi UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan menyerahkan kontrol atas data warga Indonesia kepada lembaga otoritatif nasional.
-
Berkoordinasi dengan BIN, BSSN, dan lembaga pertahanan dalam hal audit keamanan siber dan compliance teknis.
Langkah ini sudah diterapkan terhadap Starlink yang diminta membangun gateway lokal dan bekerja sama dengan Telkomsat, sebelum diperbolehkan menjual layanan ke publik Indonesia.
Tantangan Implementasi dan Ketimpangan Kompetisi
Walau regulasi sudah cukup progresif, tantangan implementasi di lapangan masih besar. Operator asing umumnya memiliki keunggulan modal, teknologi, dan jaringan global yang sulit disaingi oleh perusahaan nasional.
Tanpa perlindungan yang cukup, operator lokal bisa tergerus dari pasar sendiri. Di sisi lain, ada tekanan dari konsumen dan industri untuk mendapatkan layanan internet murah dan cepat, yang kadang hanya bisa disediakan oleh pemain global seperti Starlink.
Ketimpangan ini membuat regulator harus memainkan peran penyeimbang pasar, bukan sekadar wasit teknis. Beberapa pendekatan yang kini diterapkan atau sedang dikaji antara lain:
-
Kewajiban kontribusi universal service bagi operator asing.
-
Skema sharing kapasitas antara operator asing dan nasional.
-
Pemangkasan bea masuk dan insentif pajak untuk operator lokal agar bisa bersaing lebih adil.
-
Mekanisme transfer teknologi sebagai bagian dari syarat izin landing.
Dengan pendekatan ini, pemerintah berharap kehadiran operator asing tidak merugikan ekosistem nasional, melainkan mempercepat tumbuhnya industri satelit dalam negeri.
Prospek Satelit Indonesia dan Strategi Mandiri
Pemerintah Indonesia melalui BRIN dan BAKTI Kominfo tengah mengembangkan strategi untuk meningkatkan kemandirian di sektor satelit. Peluncuran SATRIA-1 pada 2023 menjadi tonggak penting karena menyediakan lebih dari 150 Gbps kapasitas untuk internet di wilayah 3T.
Sementara itu, proyek SATRIA-2 dan program Orbit Palapa sedang dirancang untuk mendukung ekosistem satelit nasional yang berkelanjutan.
Selain itu, Indonesia juga mendorong pembangunan fasilitas manufaktur satelit dalam negeri, seperti yang dilakukan Lapan dan perusahaan swasta seperti Pasifik Satelit Nusantara (PSN). Dengan kemandirian dalam produksi, pengendalian, dan pengoperasian satelit, maka ketergantungan terhadap operator asing bisa ditekan secara bertahap.
Namun untuk jangka menengah, kerja sama dengan operator asing tetap dibutuhkan. Oleh karena itu, regulasi harus bersifat adaptif dan visioner: membuka ruang kemitraan, namun tetap menegakkan prinsip kedaulatan dan keberpihakan pada industri nasional.
Kerangka Hukum Masa Depan: Perlunya UU Satelit Nasional
Saat ini, regulasi satelit masih tersebar dalam berbagai peraturan menteri dan perundang-undangan telekomunikasi secara umum. Pemerintah dan DPR RI dinilai perlu segera merumuskan Undang-Undang Satelit Nasional yang komprehensif, mencakup:
-
Kepemilikan dan kontrol slot orbit nasional.
-
Hak dan kewajiban operator asing.
-
Standar keamanan dan perlindungan data.
-
Sanksi atas pelanggaran spektrum dan interferensi.
-
Insentif bagi pengembangan teknologi satelit lokal.
Dengan adanya undang-undang ini, regulasi menjadi lebih kuat, terlembagakan, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pemangku kepentingan. Hal ini juga penting sebagai dasar diplomasi Indonesia di forum global seperti ITU dan ASEAN Satellite Forum.
Kesimpulan: Membangun Regulasi Satelit Asing yang Adil dan Progresif
Keberadaan operator satelit asing di Indonesia adalah keniscayaan dalam era globalisasi teknologi. Namun tanpa regulasi yang jelas dan berpihak, kedaulatan digital dan kelangsungan industri nasional bisa terancam.
Oleh karena itu, regulasi yang diterapkan Kominfo—baik melalui Permen No. 13 Tahun 2019 maupun kebijakan teknis lainnya—merupakan langkah penting untuk mengatur keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan.
Ke depan, tantangan semakin kompleks seiring hadirnya teknologi baru seperti satelit orbit rendah, layanan langsung ke pengguna, dan persaingan pasar global.
Dibutuhkan pembaruan regulasi yang lebih adaptif, didukung oleh UU Satelit Asing yang kuat, serta sinergi antara pemerintah, BUMN, swasta nasional, dan mitra asing yang sejalan dengan kepentingan nasional.
Dengan pendekatan yang cerdas, kolaboratif, dan berbasis data, Indonesia dapat menjadikan sektor Satelit Asing bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam pembangunan nasional dan penguatan kedaulatan digital.
Original Post By roperzh