Menyajikan Berita dan Analisis Terdepan dalam Dunia Teknologi dan Media

Starlink Dilarang Berjualan Paket Jelajah Indonesia

Starlink

Starlink, layanan internet berbasis satelit milik SpaceX yang didirikan oleh Elon Musk, telah merevolusi konektivitas internet global, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan kabel fiber optik atau BTS seluler.

Di Indonesia, Starlink mulai menarik perhatian publik sejak 2021 dan secara resmi meluncurkan layanannya di Tanah Air pada Mei 2024. Namun, euforia itu tidak berlangsung mulus.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan larangan bagi Starlink untuk menjual langsung perangkat jelajah atau user terminal kepada masyarakat umum tanpa melalui distributor resmi dan izin lokal.

Kebijakan ini menjadi sorotan publik karena berpotensi menghambat akses masyarakat terhadap layanan internet cepat yang sangat dibutuhkan, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Namun di balik keputusan ini, tersimpan banyak pertimbangan, mulai dari aspek regulasi, keamanan siber, perlindungan data, hingga perlindungan industri telekomunikasi lokal.

Artikel ini akan membahas secara menyeluruh isu pelarangan Starlink dalam menjual perangkat secara ritel di Indonesia, dengan pendekatan faktual, regulatif, dan kritis.

Starlink: Teknologi dan Model Layanan

Starlink adalah jaringan internet berbasis satelit orbit rendah (LEO – Low Earth Orbit) yang bertujuan menyediakan akses internet ke seluruh penjuru dunia.

Keunggulan sistem ini terletak pada latensi rendah, cakupan luas, dan instalasi yang fleksibel. Pengguna hanya perlu membeli perangkat yang terdiri dari parabola kecil (dish), modem, dan router, lalu menghubungkannya ke jaringan satelit Starlink.

Berbeda dengan penyedia internet konvensional yang mengandalkan kabel bawah tanah atau menara BTS, Starlink menawarkan layanan langsung ke konsumen (direct-to-consumer/D2C), tanpa perlu infrastruktur lokal yang rumit. Hal inilah yang membuatnya sangat menarik bagi pengguna di daerah pelosok, termasuk di Indonesia.

Regulasi Telekomunikasi di Indonesia: Starlink Tak Bisa Bebas Masuk

Indonesia memiliki sistem regulasi telekomunikasi yang ketat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, serta peraturan turunannya. Untuk bisa menyediakan layanan internet, perusahaan asing wajib memiliki:

  1. Izin Penyelenggaraan Telekomunikasi, baik untuk jasa dan jaringan.

  2. Gateway lokal untuk pengendalian lalu lintas data.

  3. Sistem Network Operation Center (NOC) di wilayah Indonesia.

  4. Pemenuhan persentase kandungan lokal (TKDN) untuk perangkat keras.

  5. Kewajiban membayar kontribusi BHP dan USO (Universal Service Obligation).

Starlink memang telah mendapatkan izin untuk beroperasi di Indonesia secara terbatas dengan menggandeng Telkomsat sebagai mitra backhaul, namun belum mendapatkan izin penuh untuk penjualan langsung ke konsumen (ritel). Oleh karena itu, menjual perangkat user terminal langsung ke publik dianggap melanggar aturan.

Pelarangan Penjualan Perangkat Jelajah: Alasan dan Dasar Hukum

Larangan ini bukan tanpa alasan. Kominfo menyatakan bahwa Starlink hanya boleh menjual perangkat user terminal jika dilakukan oleh entitas resmi yang telah memiliki izin distribusi dan lisensi penyelenggara jasa telekomunikasi.

Penjualan langsung oleh pihak asing tanpa badan usaha lokal yang terdaftar berpotensi melanggar UU Telekomunikasi dan merugikan pelaku usaha dalam negeri.

Selain itu, muncul fenomena penjualan perangkat Starlink ilegal di marketplace online, seperti Tokopedia dan Shopee. Perangkat ini diduga berasal dari luar negeri dan tidak memiliki sertifikat postel, izin edar, serta belum memenuhi TKDN. Dalam hal ini, pemerintah bertindak untuk mencegah maraknya penggunaan perangkat ilegal yang tidak sesuai standar keselamatan dan keamanan.

Isu Keamanan Nasional dan Pengawasan Data

Kehadiran Starlink membawa serta kekhawatiran mengenai pengawasan data dan kedaulatan digital. Sistem Starlink memungkinkan data pengguna langsung dihubungkan ke satelit dan ditransmisikan ke pusat pengolahan di luar negeri tanpa melalui gateway lokal.

Tanpa sistem pengawasan atau traffic filtering di dalam negeri, pemerintah khawatir akan:

  • Kebocoran data pribadi pengguna.

  • Potensi penyalahgunaan frekuensi dan spektrum.

  • Ketidakterpantauan trafik digital oleh lembaga keamanan.

Maka, pelarangan penjualan perangkat secara langsung adalah salah satu cara pemerintah memastikan semua perangkat yang digunakan telah melalui pengujian dan pengawasan resmi.

Kekhawatiran Industri Telekomunikasi Lokal

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menjadi dua pihak yang vokal menentang penjualan perangkat Starlink secara langsung. Mereka khawatir Star Linkakan:

  • Memonopoli pasar internet di wilayah rural.

  • Menurunkan pangsa pasar ISP lokal.

  • Mengurangi pendapatan operator BTS yang telah membangun jaringan dengan biaya tinggi.

Menurut mereka, Starlink seharusnya beroperasi melalui skema business-to-business (B2B) dan tidak secara langsung menjangkau konsumen. Skema ini dinilai lebih adil karena memungkinkan kolaborasi antara pemain lokal dan asing.

Penjualan Perangkat Starlink di Marketplace: Ilegal tapi Masif

Meski dilarang, perangkat Starlink ternyata tetap beredar secara luas di e-commerce. Para pedagang menjualnya dengan status “barang impor” atau “stok luar negeri.” Harganya bisa mencapai Rp10 juta–Rp15 juta per unit.

Banyak pengguna di forum online seperti Reddit dan Kaskus juga membagikan pengalaman menggunakan perangkat tersebut, meski dengan risiko hukum.

Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara kebutuhan pasar dan kebijakan negara. Di satu sisi, masyarakat sangat ingin menikmati layanan internet satelit tanpa ribet. Di sisi lain, negara berupaya menjaga kedaulatan digital dan keberlangsungan industri lokal.

Kebutuhan Internet di Daerah 3T: Starlink Punya Potensi Besar

Di berbagai daerah terpencil seperti Papua, Maluku, Kalimantan pedalaman, atau NTT, infrastruktur jaringan darat sangat minim. Membangun menara BTS atau jaringan fiber di wilayah seperti ini sangat mahal dan lambat. Dalam konteks ini, Starlink sebenarnya berpotensi menjadi solusi revolusioner.

Namun, pelarangan penjualan perangkat secara langsung justru menyulitkan masyarakat di wilayah tersebut untuk memperoleh akses. Maka muncul dilema: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan teknologi dan perlindungan regulasi nasional?

Solusi Kolaboratif: Bukan Dilarang, Tapi Diatur

Banyak pakar menyarankan bahwa Starlink tidak perlu dilarang secara total, tetapi diarahkan untuk bekerja sama dengan mitra lokal, seperti Telkomsat, BAKTI Kominfo, atau ISP daerah.

Dengan cara ini, pengawasan terhadap perangkat, data, dan trafik tetap dilakukan, namun masyarakat tetap bisa menikmati teknologi mutakhir.

Model kolaborasi ini juga dapat menjadi jalan tengah antara inovasi global dan proteksi nasional. Pemerintah bisa memfasilitasi kemitraan semacam ini melalui regulasi yang jelas dan transparan.

Tanggapan Starlink dan SpaceX

Hingga kini, pihak Starlink belum mengeluarkan pernyataan resmi soal larangan penjualan perangkat di Indonesia. Namun dalam banyak negara, termasuk di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Star Link cenderung menerapkan model penjualan langsung ke konsumen.

Jika Indonesia menjadi pengecualian, maka mereka perlu menyesuaikan strategi bisnis agar tetap dapat beroperasi.

Starlink juga perlu berkomitmen terhadap kepatuhan regulasi lokal, mulai dari izin spektrum, gateway, hingga penggunaan server domestik. Tanpa itu, kehadiran mereka bisa dianggap tidak sah dan membahayakan kepentingan nasional.

Masa Depan Internet Satelit di Indonesia

Dalam jangka panjang, internet berbasis satelit akan menjadi komponen penting dari ekosistem konektivitas Indonesia. Negara dengan ribuan pulau ini tidak mungkin sepenuhnya bergantung pada kabel optik. Oleh karena itu, teknologi seperti Starlink, SES, OneWeb, dan lainnya perlu diakomodasi dengan pendekatan yang adil dan strategis.

Larangan semata bukan solusi berkelanjutan. Yang dibutuhkan adalah regulasi adaptif dan kemauan politik untuk menjembatani teknologi global dengan kepentingan nasional. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil menjadi kunci keberhasilan transformasi digital Indonesia.

Kesimpulan: Bukan Menolak Starlink, Tapi Menata Arah

Larangan Starlink menjual perangkat jelajah secara langsung di Indonesia bukan bentuk penolakan terhadap teknologi, tetapi lebih kepada upaya untuk menjaga tata kelola sektor telekomunikasi nasional.

Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap layanan yang beroperasi di Indonesia tunduk pada regulasi, adil terhadap pelaku lokal, dan menjamin keamanan data serta kepentingan publik.

Starlink, sebagai representasi kemajuan teknologi satelit global, tetap memiliki tempat di Indonesia. Namun kehadirannya harus dilandasi kerja sama yang transparan, saling menguntungkan, dan berpihak pada rakyat. Bukan dengan jalan pintas atau bypass hukum.

Jika semua pihak mampu menempatkan kepentingan bersama di atas keuntungan semata, maka Starlink dan teknologi sejenis bisa menjadi kekuatan besar untuk menghubungkan seluruh pelosok Nusantara tanpa menimbulkan konflik atau ketimpangan baru.

Original Post By roperzh